al himah aceh

http://hendrazulviansyah.blogspot.com/

Rabu, 18 Mei 2011

Aceh tak pernah berontak kepada NKRI

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Aceh, kita sering mendengar istilah pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini.

Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan' yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya (dan ini fakta sejarah) bahwa Aceh sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda. Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Aceh sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun) nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke 20? Aceh merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya. Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda,yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya. Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.

Dipersatukan Oleh Akidah Islamiyah Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia lebihdari daerah mana pun di seluruh nusantara,adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim. Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh. Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba

Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri. Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera tara masuk ke wilayah Aceh,rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.

Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya. Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.

Cara Pandang ‘Majapahitisme’ Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘ Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme ’ atau Jawa sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan. Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.

Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki. Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggung-jawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang. Aceh bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Aceh.

Dan ketika Aceh sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional. Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai.

(Rz)m.eramuslim.com by mawardi samudra pasai

Rabu, 30 Maret 2011

Jubah Puteh di BeutongJun 3, '08 3:46 PM
for everyone
BEUTONG Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak.

Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah.  Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan.

Di daerah ini pula Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Ditiro pernah bertahan dari kejaran tentara Belanda, walau akhirnya mereka tertangkap juga. 

Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga setempat enggan meninggalkan lembah Beutong Ateuh. Sebelum dibangun jalan untuk kendaraan roda empat tahun 1996, warga yang ingin ke dalam dan keluar kecamatan ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya dengan menelusuri hutan dan naik-turun lembah.

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat.  Setelah kabupaten Aceh Barat mengalami pemekaran sekitar tahun 2002 dan terbelah jadi tiga kabupaten baru, yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya, maka Beutong Ateuh masuk dalam kabupaten Nagan Raya.

Sejak pemekaran itu pula jalan ke Beutong Ateuh mulai diaspal. Perjalanan sekarang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 35 kilometer atau tiga jam perjalanan dari Ule Jalan, Beutong Bawah. Jalan aspal membuat banyak warga Beutong Ateuh lalu-lalang ke kota Nagan Raya dan Meulaboh, ibukota Aceh Barat, terutama mereka yang membawa hasil pertaniannya. Jalan ini juga dimamfaatkan warga dari Takengon, Aceh Tengah dan  Gayo untuk membawa hasil pertanian mereka ke kota Nagan Raya dan Meulaboh.

Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, Anda akan melewati  pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti
yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang  papan pengumuman  berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. TNI adalah singkatan dari Tentara Nasional Indonesia.

Sekitar 10 kilometer dari kompi tersebut terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman.

Harapan Anda pasti kandas bila menyangka bakal menemukan  rumah penduduk di tempat ini. Tak ada manusia yang menghuni Simpang Camat! Sejauh mata memandang hanya tampak jajaran pohon-pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga.

Sayup-sayup dari balik semak-belukar terdengar kicau burung bersahutan ditingkahi suara binatang lain. Hawa dingin mulai menusuk ke tulang sumsum, apalagi ketika sampai di Simpang Singgah Mata.

Tempat ini terletak di puncak bukit yang berjarak sejam perjalanan dari Simpang Camat. Di sana ada jambo (pondok) yang sering digunakan sebagai tempat istrirahat oleh para pengguna jalan yang kelelahan. Sinyal telepon seluler juga penuh di sini. Tempat ini pun dimanfaatkan para pengguna telepon seluler untuk berkomunikasi. Sekitar 15 kilometer lagi Anda akan tiba di kecamatan Beutong Ateuh.


DARI atas bukit ini  kain putih usang terlihat berkibar di areal pesantren di kejauhan. Di sekeliling areal itu terlihat kubah mushala, atap rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan dengan sungai Beutong.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh ini pada tahun 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati.

Pesantren Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, silat atau seni bela diri, dan berbagai ilmu spiritual lainnya. Proses belajar dan mengajar dipimpin oleh sang tengku dengan dibantu seorang kepercayaannya.

Selain belajar bermacam ilmu,  para murid juga diajarkan berkebun. Mereka bertanam nilam, cabai, dan bermacam sayuran. Hasil kebun tadi berguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadi ajang kegiatan santri untuk bekerja sama serta saling bantu.

Kegiatan sehari-hari para santri dimulai dari sholat shubuh di pagi hari dilanjutkan dengan dzikir. Kemudian para santri itu bermujahadah sambil melakukan kegiatan lainnya seperti bertani dan kerja bakti memperbaiki lingkungan sekitar. Kegiatan bermujahadah di Babul Al Nurillah merupakan satu kekuatan religius yang sangat penting dalam upaya membentuk ketaqwaan kepada Allah.

”Tujuan kami di sini bermujahadah yaitu memerangi nafsu, hasrat dan iri dengki sesama manusia. Inilah yang kami perangi dengan mujahadah. Mujahadah sebagaimana disebutkan dalam hadist yang artinya barangsiapa yang mengasingkan dirinya dengan mujahadah Allah akan memperbaiki sir-nya dan hatinya,” kata Tengku Iskandar, salah seorang murid Bantaqiah. 

Selain mereka yang menetap di pesantren ini, masih ada lagi orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren. 

Sebagian besar murid adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak.

Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini.

Jumlah murid yang pernah menuntut ilmu di Babul Al Nurillah tercatat lebih kurang 30.000 orang. Mreka berasal dari berbagai pelosok Aceh, Medan, Jakarta, bahkan negeri jiran Malaysia.

Lulusan pesantren hidup dan bekerja di bidang yang beragam. Ada petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan anggota TNI.

Bantaqiah orang yang teguh dalam berpendirian. Ia pernah menolak bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh. Tak jarang ia jadi sasaran fitnah mereka yang berseberangan dengannya. Ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Pada tahun 1985 ia dan beberapa muridnya dijuluki gerakan Jubah Putih.

Ia pun dikelompokkan sebagai pembangkang. Untuk melunakkan hatinya, pemerintah daerah Aceh membangunkan sebuah pesantren untuknya. Namun pesantren baru ini berdiri di kecamatan Beutong Bawah. Lokasinya yang jauh dari Babul Al Nurillah membuat ia dan para muridnya menolak pesantren baru tersebut..

Penolakan ini berbuah petaka. Hubungan Bantaqiah dan pemerintah jadi kurang hangat. Pada tahun 1992 ia dituduh sebagai Menteri Urusan Pangan Gerakan Aceh Merdeka. Ia kemudian dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menjabat presiden ketiga Indonesia dan berkunjung ke Aceh, masyarakat meminta kepadanya untuk melepaskan sang tengku dari penjara. Habibie mengabulkan tuntutan itu. Bantaqiah dibebaskan dari bui.

Namun, masalah belum selesai sampai di situ.

Pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan brigadir mobil mendirikan tenda-tenda di seputar pegunungan Beutong Ateuh. Warga desa mencurigai keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan mereka yang berada di tenda-tenda tersebut.

Di masa itu pula telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang di sungai. Satu orang terluka, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke hutan. Kejadian ini makin meresahkan warga Beutong Ateuh.

Tragedi kelabu
JUMAT,  23 Juli 1999, pukul 08.00, pasukan TNI mulai memantau pesantren dari seberang sungai. Pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya kira-kira 100 meter di sebelah timur pesantren.. Pukul 10.00  pasukan tersebut mulai mendekati pesantren. Pukul 11.00 pasukan berseragam dan bersenjata lengkap mulai memasuki pekarangan pesantren Babul Al Nurillah. Mereka memiliki ciri lain: wajah sebagian dari mereka berpulas cat hitam dan hijau. Pukul 11.30 mereka mulai berteriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Sudah menjadi kebiasaan para santri untuk berkumpul di hari Jumat.  Setelah cukup lama mendengar serdadu-serdadu itu berteriak-teriak, Tengku Bantaqiah pun datang menemui mereka bersama seorang muridnya.

Hasilnya? Semua santri laki-laki disuruh turun oleh tentara, lalu dikumpulkan di tanah lapang dan diperintahkan berjongkok menghadap sungai Beutong. Santri perempuan tetap di lantai atas. Bangunan pesantren terbuat dari papan dan balok kayu, berlantai dua.

Tengku Bantaqiah diminta menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena ia merasa tidak pernah memiliki senjata yang dimaksud tentara, ia membantah keras tuduhan tersebut. Pernyataan sang tengku ternyata tak memuaskan mereka. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren ikut dipertanyakan.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan  menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan.

Melihat perlakuan kasar terhadap putranya ini, Bantaqiah tak tinggal diam. Ia mencoba menghampiri putranya.  Di saat itu pula, terdengar aba-aba menembak. Bantaqiah diberondong dengan senjata pelontar bom. Ia jatuh tersungkur ke tanah.

Pasukan lantas mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri, membabi-buta. Lima puluh enam orang meninggal seketika. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah. 

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. 

Tiba-tiba salah seorang santri, yang entah karena rasa putus asa atau marah, langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Tentara –tentara itu serta-merta menembak ke arah jurang.

Nasib para santri yang tersisa tak diketahui. Mereka masih dinyatakan hilang oleh keluarganya sampai hari ini.

Pada pukul 16.00, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad Bantaqiah, putra, dan murid-muridnya. Sedangkan santri perempuan dan istri-istri almarhum digiring menuju mushola yang berada di seberang sungai. Mereka dilarang menyaksikan penguburan itu.

Belum puas hati mereka, pasukan ini lantas membakar kitab-kitab agama dan Alquran di pesantren.


KAIN putih usang itu terus melambai-lambai di areal pemakaman, yang berada di samping mushola pesantren Babul Al Nurillah. Di situlah Bantagiah dan para santrinya terbaring selamanya.

Delapan tahun sudah lewat sejak kejadian tersebut, tetapi tiap tanggal 27 Juli setiap tahun keluarga almarhum Bantaqiah melaksanakan doa bersama untuk mereka yang meninggal dunia.

Pada 11 Agustus 2007  yang lalu,  warga dan para santri juga melangsungkan kenduri aneuk yatim dan doa bersama. Panitia mengundang orang-orang pemerintah, dan beberapa dari mereka itu hadir di Beutong Ateuh. Delapan tahun lalu, mustahil mereka hadir di tempat ini.

”Ini pun karena sudah diundang, kalau tidak mungkin tidak akan pernah datang. Mungkin kami tidak pernah dianggap masyarakatnya. Maklum kami di sini orang-orang yang dianggap sesat dan zalim. Namun yang sangat kami sayangkan kenapa tindakan kekerasan diambil tanpa ada proses hukum. Kalau benar sesat, ada hukum, jangan melalui kekerasan, “ tutur Tengku Iskandar kepada saya.

Di antara para undangan saya melihat antara lain, pengurus Badan Reintegrasi Aceh, wakil pemerintah kabupaten Nagan Raya, asisten gubernur, wartawan, dan aktivis hak asasi manusia..

Secara bergiliran mereka yang hadir diminta menyampaikan pidatonya di podium yang sudah disediakan. Rata-rata pidato menyebutkan bahwa peringatan ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan mengingatkan setiap orang untuk menjaga agar kekerasan yang dialami Tengku Bantaqiah tak perlu lagi terjadi di masa mendatang. Ada juga yang menghimbau agar anak-anak yatim dan para janda yang diakibatkan peristiwa itu disantuni dan diperhatikan nasibnya.

Pidato Hasyem Ibrahim yang mewakili pemerintah kabupaten Nagan Raya cukup menarik, karena ia berani menyebut Bantaqiah yang dulu dicap pemberontak oleh negara Indonesia dan pembawa aliran sesat itu sebagai ”syuhada”. Ia mengajak hadirin memanjatkan doa bagi yang telah tiada dan meminta para bapak menyekolahkan anak-anak mereka supaya pintar untuk mengisi masa damai di Aceh.

”Kalau ada pengetahuan, maka kita akan lebih pandai dan tidak mudah ditipu oleh siapapun,” katanya.

Mengapa cuma para bapak yang diminta partisipasinya oleh Hasyem? Bukankah peran kaum ibu tak kalah pentingnya dalam mendidik anak? Apakah karena rata-rata hadirin berjenis kelamin laki-laki? Apakah karena hanya para bapak dianggap yang punya uang dan mencari nafkah?  Entahlah.

Tentu saja, orang yang paling menarik perhatian saya adalah Tengku Malikul.

Ia berbadan tegap. Jalannya cepat. Rambutnya yang gondrong dibiarkan lepas tergerai dari balik peci hitamnya. Siang itu ia mengenakan kemeja batik dipadu celana hitam dengan lilitan kain sarung menutupi celananya.

Tangan Malikul tak henti-henti menyalami tamu-tamu yang datang. Tatapannya tajam, tapi tutur katanya halus.

Dulu ia pernah merantau ke Pidie. Di Pidie ia juga menuntut ilmu sambil bercocok tanam. Sekarang ia sudah kembali ke tanah leluhurnya, setelah kejadian berdarah menimpa keluarganya. Meski usianya masih muda, ia kini dipercaya untuk melanjutkan tugas ayahnya, yaitu mengurusi pesantren dan para santri. Dialah pemimpin pesantren Babul Al Nurillah sekarang ini.

“Kami selaku hamba lemah dan fana tidak mau berpolitik, kalau tujuan bapak-bapak yang baik, maka hanya doa yang ada dari kami. Kita sama-sama mengenang delapan tahun tragedi pembantaian almarhum Tengku Bantaqiah. Harapan kami cukup kali ini kami rasakan,  semoga tidak terulang lagi, karena cukup pedih yang kami rasakan akibat ulah kebiadaban manusia. Namun yang perlu kami ketahui apa tujuan kami dibunuh, sampai hari ini masalahnya belum ada yang bertanggung jawab. Atas nama manusia belum ada yang mampu memberi tanggung jawab atas kejadian yang menimpa kami,” kata Malikul, ketika berpidato di hadapan undangan.

Kegiatan belajar-mengajar di Babul Al Nurillah tetap berlangsung sebagaimana saat Bantaqiah masih hidup, meski serba terbatas. Pesantren ini belum memiliki dana untuk mengganti seluruh Alquran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar tentara delapan tahun lalu. Pembakaran itu bersamaan dengan pembakaran seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan barang-barang milik Bantaqiah serta santrinya yang diberondong peluru.

Kini Beutong Ateuh tak hanya dikenang sebagai lembah hijau nan subur, tetapi lembah kesedihan. Warga desa masih belum bisa melupakan peristiwa itu dan luka-luka di hati mereka yang ditinggalkan belum lagi sembuh.

Hari mulai beranjak malam. Para tamu, termasuk saya, mulai meninggalkan halaman pesantren. Acara telah usai, tetapi peringatan ini justru memberi peringatan bahwa negara Indonesia belum bertanggung jawab terhadap seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama konflik hampir 30 tahun. Para pelaku kekerasan itu masih beb







Ibukota dari Kabupaten Nagan Raya adalah Suka Makmue. Kata Nagan merupakan kependekan dari Seunagan yang menunjukkan lima kecamatan hasil pemekaran, sedang Raya berarti besar. Dari sini mungkin diharapkan kelima kecamatan ini akan jadi besar kelak di kemudian hari. Alamat Lokasi : Kantor Bupati Nagan Raya: Komplek Kantor Bupati, Jl.Nasional No.17. Suka Makmue. Kabupaten Nagan Raya. Kabupaten Nagan Raya adalah sebuah kabupaten di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kabupaten ini berdiri berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2002 tanggal 2 Juli 2002 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat. Berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Barat di utara, Kabupaten Aceh Barat di barat, Kabupaten Aceh Barat Daya dan Samudra Hindia di selatan, dan Kabupaten Gayo Lues serta Kabupaten Aceh Barat Daya di timur. Kabupaten Nagan Raya berada di pantai barat Sumatra yang subur dan sangat cocok bagi pertanian, khususnya padi yang terpusat di kecamatan Seunagan, Seunagan Timur dan Beutong karena ditunjang oleh Krueng Beutong dan Krueng Nagan yang mengalir di wilayah tersebut. Potensi lainnya adalah usaha peternakan dan perkebunan terutama kelapa sawit. Karena sumber daya pertaniannya yang melimpah, maka Nagan Raya dikenal sebagai salah satu lumbung beras utama di NAD. 
Cara Menuju Lokasi : Dari Kota Banda Aceh jarak tempuh 287 km atau sekitar 8-9 jam perjalanan menggunakan transportasi bus umum atau kendaraan pribadi. 
Sungai Krueng Isep
Krueng Isep merupakan sungai yg indah dan masih sangat alami, merupakan objek wisata akhir pekan masyarakat daerah ini. Alamat Lokasi : Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Sungai yang sangat natural ini menjadi tempat wisata favorit tidak hanya dari masyarakat setempat, tetapi juga dari luar kota. Ramai dikunjungi bila akhir pekan ataupun pada saat hari libur. 
Cara Menuju Lokasi : menggunakan mobil, sepeda motor atau angkutan umum.
Panorama Gunung Singgah Mata
Obyek wisata alam ini menjadi favorit tidak hanya penduduk daerah ini, tetapi juga dari luar daerah. Panorama gunung singgah mata memang mempesona. Alamat Lokasi : Kecamatan Beutong. Kabupaten Nagan Raya. Keindahan panorama dari gunung ini menjadi salah satu daya tarik pengunjung untuk berwisata kedaerah ini. Dengan ketinggian sekitar 6000 kaki, dan udaranya yang segar serta sejuk menjadikan obyek wisata yang satu ini selalu ramai dikunjungi. 
Cara Menuju Lokasi : Bisa menggunakan transportasi umum, kendaraan roda empat ataupun roda dua.
Bendungan Irigasi Jeuram
Salah satu Bendungan Irigasi terbesar di NAD, dan merupakan objek wisata yg banyak dikunjungi karena dilatar belakangi oleh pegunungan bukit barisan yg indah. Alamat Lokasi : Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Merupakan Bendungan Irigasi yg cukup besar, dibangun pada tahun 1991-1993 oleh Departemen PU. Irigasi ini mengairi areal persawahan di Kabupaten Nagan Raya. Kebutuhan beras khususnya diwilayah Barat Aceh dipasok dari Nagan Raya. Pemandangan di pintu bendungan sangat eksotik. Terjunan air yang tidak terlalu tinggi dengan lebar mungkin mencapai 50 m, dengan latar belakang pegunungan bukit barisan.
Cara Menuju Lokasi : bisa menggunakan mobil, sepeda motor, ataupun kendaraan umum.

My Holiday

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Zulfikar Akbar

Salah satu penulis buku: Hasan Tiro, Unfinished Story of Aceh. Juga antologi puisi: Tsunami Kopi. Berasal dari Jeuram, Nagan Raya-Aceh. Memiliki konsep hidup: untuk benar-benar menjadi besar, seseorang harus berdampingan dengan orang lain, bukan di atas orang lain (Charles de Montesquieu)

Beutong, si ‘Gadis’ di Pucuk Nagan

REP | 20 December 2010 | 17:45 59 6 Nihil


12928421621450512826
Irigasi yang menjadi favorit masyarakat Nagan pada era 90-an (Gbr: joerameunee)
Beutong mungkin menjadi sebuah nama tempat yang juga tidak terlalu banyak disebut dalam berbagai catatan yang berhubungan dengan wisata. Tetapi sebenarnya, kawasan yang berada sekitar 15 kilometer dari pusat kabupaten Nagan Raya tersebut menjanjikan keelokan yang cukup memukau. Yuk kita jelajah lekuk tubuh ‘gadis’ ini.
Merangkak dari Jeuram yang notabene sebagai pusat keramaian di Nagan Raya, Anda butuh waktu sekitar 45 menit untuk bisa tiba di kawasan tersebut. Cuma, sebelumnya, saya menganjurkan untuk menyewa sepeda motor di kabupaten tetangga terlebih dahulu, Meulaboh. Supaya perjalanan Anda menuju Beutong bisa lebih Anda nikmati. Sebab, kalau Anda pergunakan kendaraan umum semisal labi-labi yang menjadi transportasi rakyat di sana, kemungkinan Anda tidak akan leluasa menikmati bentangan sawah dan sungai sepanjang jalan ke tempat itu.
Sedang jika mempergunakan kendaraan roda 2, kesempatan  mata Anda untuk ‘jelalatan’ menikmati indahnya alam di sana akan lebih terbuka lebar. Biasanya, jika memang memilih untuk menyewa sepeda motor terlebih dahulu di Meulaboh, kisaran tarifnya adalah 50.000 per hari dengan bensin yang pastinya harus Anda tanggung sendiri.
Nanti dari Meulaboh, Anda bisa arahkan motor tersebut ke arah Jeuram. Dari sini, Anda bisa mengarah ke kanan dan merambah jalan ke arah Beutong. Sepanjang jalan, selain gunung yang berada di depan mata, Anda juga akan dihadapkan pada pemandangan sawah yang membentang luas. Karena dari sejak jaman Soeharto, kawasan tersebut memang dikenal sebagai salah satu sentra pangan yang ada di Aceh.
Beberapa tempat yang bakal Anda lalui adalah Gunoeng Cot Gut, 10 kilometer dari Jeuram dan beberapa desa lain. Tetapi, jika memang tidak ingin untuk menghabiskan waktu terlalu lama, yang terlihat di sepanjang jalan jangan membuat anda terpukau terlalu lama. Apalagi kalau Anda tidak pedulikan kondisi jalanan yang memang lebih sering berlobang meskipun sudah terlalu sering diperbaiki pemerintah setempat. Nanti Anda akan berada di sebuah desa yang bernama Ulee Jalan yang merupakan pusat kecamatan Beutong. Di desa yang kecil ini, Anda bisa melepas penat beberapa jenak, namun saya tidak bisa rekomendasikan jenis makanan apa pun di tempat ini. Karena paling ada hanya beberapa warung kopi seperti umumnya terdapat di banyak tempat yang ada di Aceh.
Terdapat 2 pilihan wisata yang bisa Anda rambah di sekitar sini. Ke kanan jalan keudee Ulee Jalan, Anda akan menuju sebuah tempat yang sempat populer sebagai tujuan wisata masyarakat yang ada di Pantai Barat Aceh sekitar awal tahun 90-an. Namun, sekarang kendati tidak terlalu diminati tidak berarti keindahan tempat itu telah pudar. Hanya saja, sekarang ini terdapat sebuah tempat lain yang lebih digandrungi karena dipandang memiliki sisi eksotik yang lebih bagus.
Apalagi untuk kalangan muda, tempat terakhir yang memiliki nama Krueng Isep dipandang sebagai tempat yang cukup tepat, tentunya untuk mereka bisa berpacaran. Terkait yang terakhir, biasanya Polisi Syariah kerap menjadikan tempat tersebut untuk mereka beroperasi. Tak jarang, pengunjung yang kebanyakan adalah remaja tertangkap bermesum ria di tempat ini. Namun begitu, walaupun kawasan ini diawasi Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah, tetap saja tidak menurunkan animo masyarakat di sekitar untuk berkunjung ke sini. Boleh jadi karena memang kelebihan keindahan yang ditawarkan tempat itu cukup mampu membuat siapa saja untuk jatuh cinta.